Selasa, 08 Desember 2015

Golden Sunset

BAB 1 : PERTEMUAN KEMBALI


Hari ini langit terlihat sendu, mungkin karena sejak beberapa hari terakhir matahari tak datang untuk menemaninya. Ia mungkin takut panasnya tersaingi oleh dinginnya butiran-butiran lembut yang turun dari langit. Haruka berjalan diantara butiran-butiran yang terus berjatuhan itu. Ia mendongakkan kepalanya. “Salju”. Ternyata waktu musim dingin telah tiba. Ia mengencangkan mantelnya dan bergegas.
Langit boleh bersedih, tapi tidak dengan  gadis mungil berlesung pipi ini. Hari ini kakaknya akan mengunjunginya dan ia sangat senang sekali.
“Kau sudah pulang Haruka?”
Shinme, kakak Haruka telah menunggunya sedari tadi di apartemen Haruka. Siang tadi Shinme meneleponnya untuk memberitahukan kedatangannya, namun ternyata Haruka harus pergi ke suatu tempat jadi ia membiarkan pintu apartemennya tidak terkunci agar kakaknya bisa masuk.
“Aku membuatkanmu teh bunga krisan, minumlah selagi hangat” seraya berkata demikian, Shinme menyodorkan cangkir berisi teh yang asapnya masih mengepul. Tak ada teh yang lebih enak dari teh hasil buatan kakaknya.
“Bukankah kakak seharusnya mendatangiku kemarin? Mengapa kakak baru datang hari ini?”


Saat ini, Haruka dan Shinme sedang duduk di dekat jendela besar apartemennya sambil menikmati teh krisan buatan Shinme. Shinme tinggal di Shibuya dengan istrinya yang cantik. Haruka tidak ikut mereka karena harus menyelesaikan kuliahnya di Tokyo.
Shinme menyesap tehnya lalu membuka pembicaraan mereka dengan sangat hati-hati.
“Apakah kau masih ingat seorang pria yang bernama Itada? Aku sangat berharap kau masih mengingatnya”
Apa? Itada? Apakah ia tak salah dengar? “Aku sangat berharap kau masih mengingatnya”. Haruka membekap mulutnya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakannya? Kenangan paling indah dalam hidupnya sekaligus tahun-tahun yang penuh air mata.
Bertahun-tahun sudah Haruka mengubur kenangan itu dengan susah payah. Tapi, tiba-tiba saja kakaknya datang menyebut nama Itada dan mengembalikan lagi semua kenangannya.
 Sudah bertahun-tahun yang lalu, tapi Ia masih ingat semuanya dengan jelas. Jelas sekali, seperti memutar kembali gulungan film tua. Haruka merasa dirinya terhempas kedalam dunianya yang dulu.
Hawa sejuk pegunungan, rumah kayu yang indah, kolam di halaman belakang rumah Yuki, serta pondok bambu tempat mereka dulu menghabiskan masa kecil mereka. Yuki, Itada, Temaru, Shinme, dan Haruka.
Yuki yang beruntung, dia cantik dan lucu, mempunyai orangtua yang lengkap dan dua orang kakak yang sangat menyayanginya. Terkadang Haruka merasa iri pada kebahagiaan mereka karena dirinya tak seberuntung mereka. Haruka tinggal di Kanagawa bersama kakaknya. Ibu Haruka meninggal dunia karena penyakit jantung saat Haruka menginjak usia 5 tahun.
Empat tahun setelah ibunya meninggal, ayahnya mulai berjudi dan mabuk-mabukan. Jika ia kalah taruhan atau dapat masalah maka tak segan-segan ia akan melampiaskan kemarahannya pada anak-anaknya. Ayahnya sering tak pulang kerumah, dan tak jarang Haruka dan Shinme harus menahan lapar karena tak ada makanan di rumahnya. Tak lama berselang, ayah Haruka pun menyusul Ibunya akibat over dosis. Sebagai kakak yang tiga tahun lebih tua dari Haruka, Shinme merasa bertanggung jawab untuk membiayai sekolah serta mengurus adik semata wayangnya itu.
Tak jarang Shinme bekerja sebagai pembantu di rumah-rumah tetangganya atau sebagai kuli panggul di pasar. Karena hanya itu yang dapat ia lakukan setelah putus sekolah. Haruka sedih melihat kakaknya dan sangat ingin membantu, namun kakaknya melarangnya. Sebagai gantinya, Haruka yang mengambil alih seluruh pekerjaan rumah. Bagi Haruka, satu-satunya hal yang paling membahagiakan di dunia ini adalah memiliki seorang kakak yang sangat hebat seperti Shinme. Haruka sangat bangga kepadanya.
“Aku sayang kak Shinme” Haruka memeluk kakaknya.
Bagaimanapun juga, sangatlah berat bagi dua bocah ini menjalani hidup tanpa belaian kasih sayang orangtua. Saat itu Haruka sedang mencuci pakaian dan tanpa sengaja mendengar tawa lepas Yuki yang bersenda gurau bersama keluarganya, diam-diam ia menangis seorang diri tanpa sepengetahuan Shinme.
“Kau sungguh Tuhan yang tak adil ! Mengapa Engkau membiarkan hidupku seperti ini? Tak adakah rasa kasihan-Mu pada seorang bocah yang malang ini?!” Haruka terisak. Tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang memperhatikannya.
“Mengapa kau menangis? Ibuku selalu bilang padaku, tak baik menyalahkan Tuhan bila kita sedang dalam kesulitan. Adakah yang bisa kuperbuat untukmu agar kau tak menangis lagi? Aku benci melihat seseorang menangis”
Suara renyah itu mengejutkan Haruka. Ia berbalik perlahan dan mendapati sosok anak lelaki bermantel biru tua berdiri menatap dirinya. Awalnya ia bingung melihat anak itu duduk di sampingnya dan mengambil alih pekerjaannya, namun pelan-pelan tangis Haruka mereda dan digantikan tawa segar akibat lelucon-lelucon yang dilontarkan anak yang meperkenalkan diri bernama Itada Abinara.
“Namaku Itada, kau pasti Haruka. Aku tahu banyak tentang dirimu dari cerita-cerita sahabatku, kakakmu”
“Apa saja yang sudah kakakku ceritakan padamu? Beritahu aku.”
“Dia bilang kau itu anak yang cantik dan pandai”
“Hanya itu?”
“Dia juga bilang kau anak yang baik, rajin dan penurut”
“Benarkah?”
“Tentu saja”
“Jangan menggodaku terus, kau membuatku malu”
“Kalau begitu kembali ke pendapatku yang pertama”
“Baiklah, aku membencimu”
“Bukankah kau yang memintanya?”
Tawa pecah diantara keduanya.

            Kini, hari-hari Haruka terasa lebih berarti. Itada mengenalkan Haruka pada kedua adiknya, Yuki dan Tenji. Paman dan Bibi Abinara. Serta mengajak Haruka berkeliling rumahnya. Haruka juga menceritakan perihal kedekatannya dengan keluarga Itada kepada kakaknya dan melihat respon kakaknya, ia yakin Shinme menyetujui gagasan itu.
            “Itada itu anak baik, aku sangat senang mendengar kau berteman dengannya” Shinme membelai rambut adiknya.
            Saat itu hari ulang tahun Haruka yang ke 10. Itada lalu mengajak Haruka dan Shinme ke sebuah pondok bambu di halaman belakang rumahnya. Disana, Yuki dan Tenji telah menunggu dengan kue lengkap dengan lilinnya.
“Ayo ucapkan permohonanmu lalu tiup lilinnya Haruka!”
Haruka menutup matanya, mengucapkan permohonan, lalu meniup lilinnya. Ini pertama kalinya Haruka merayakan hari ulang tahunnya dan ia senang sekali. Shinme memeluk Haruka dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya, begitu juga dengan Yuki, Tenji dan Itada. Itada mengeluarkan sebuah kotak kecil dan meminta Haruka untuk membukanya. Sebuah kalung manik-manik yang indah.
“Izinkan aku memakaikannya padamu tuan purti” Itada mengambil kalung yang ada didalam kotak dan mengalungkannya di leher Haruka. Sembari mengalungkan kalung tersebut, Itada berbisik di telinga Haruka. “Aku ingin kau menyimpannya selamanya”. Ia lalu memeluk Haruka. “Selamat ulang tahun tuan putriku yang cantik”. Itada yang tampan dan baik hati. Diam-diam Haruka menyukainya. Tapi, ia tampak hanya menganggap Haruka sebagai...entahlah. Dulu mereka hanyalah seorang anak kecil.
Tapi, Itada selalu baik padanya. Laki-laki yang paling baik yang pernah ia kenal. Itada bahkan lebih sering membantu pekerjaan Haruka ketimbang bermain bersama adik-adiknya. Mungkin hal itulah yang membuat Yuki dan Temaru menaruh kecemburuan pada Haruka.
“Aku benci padamu, kau punya kakak tapi mengapa mengambil kakak milik orang lain? Lebih baik kau jangan dekati kakakku lagi. Gara-gara kau, Kak Itada berubah. Ia bahkan tega memarahiku saat aku menjelek-jelekkan mu”
Itu adalah kata-kata dari Yuki yang masih diingat oleh Haruka hingga saat ini. Kata-kata yang membuat persahabatan mereka menjadi berantakan. Itada tak lagi datang untuk membantunya. Hanya sesekali ia muncul bersama Shime dan berbincang sesaat. Haruka kembali ke hari-harinya yang dulu.
Suatu hari Haruka mendengar kabar bahwa keluaga Abinara akan pindah ke Hokaido. Kabar itu ia dengar dari kakaknya. Ia sedih, sedih sekali. Ia tak mau keluarga itu pergi membawa kenangan buruk tentangnya. Akhirnya, Haruka  memutuskan untuk ikut bersama kakaknya mengunjungi keluarga itu di malam keberangkatannya.
“Aku dengar, kalian akan pergi ke Hokaido?”
Saat itu Haruka dan Yuki sedang berada di ruang tamu sambil menunggu makan malam yang disiapkan Bibi Abinara.
“Ya itu benar, ayahku mendapat sebuah pekerjaan di Hokaido, jadi kami akan pindah kesana” terang Yuki tanpa memandang kearah Haruka.
“Kalau begitu aku minta maaf padamu jika selama disini kau tak merasa nyaman denganku. Tolong sampaikan maafku juga pada Temaru dan Itada. Semoga kau bahagia disana.” Haruka menghela napas. Ia ingin menangis, ia tak bisa melepas kepergian Itada, jadi putuskan untuk pulang lebih awal. Sedangkan kakaknya masih harus menyelesaikan pekerjaannya di rumah Itada.
Haruka mendekam di pojok serambi belakang rumahnya. Menyembunyikan kepalanya di sela kedua lututnya. Dan menangis. Ia patah hati mengingat pertemuan pertamanya dengan Itada, hari-hari ceria yang dijalaninya bersama, harus berakhir seperti ini. “Aku benci melihat seseorang menangis” . Ia berharap Itada datang dan mengatakan kalimat itu lagi padanya. Tapi, saat ia membuka kedua matanya yang ia dapat hanya sembirat cahaya matahari pagi dari jendela kamarnya. Itada sudah pergi. Haruka tak percaya Itada pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan padanya. Ia benci Itada, bahkan ia marah saat kakaknya menyebut nama itu dihadapannya.
Beberapa bulan berselang, Haruka mendapatkan beasiswa di sebuah sekolah menengah di Tokyo atas prestasi belajarnya. Haruka dan Shinme pun pindah ke Tokyo dan melanjutkan hidup disana. Sedikit demi sedikit masa lalunya yang kelabu mulai terlupakan. Haruka disibukkan dengan prestasi-prestasinya. Sedangkan Shinme sibuk mengolah cafe yang menyediakan teh dengan aneka rasa bunga sebagai menu spesialnya. Beberapa tahun kemudian, Shinme sudah tampil sebagai pengusaha sukses. Ia lalu menikah dengan putri seorang pengusaha restoran di Shibuya, ia kemudian diamanatkan untuk melanjutkan usaha keluarga tersebut dan menetap di Shibuya. Awalnya ia tak mau karena Haruka tak ikut bersamanya, namun Haruka berjanji jika telah menyelesaikan kuliahnya ia akan menyusul kakaknya ke Shibuya. Begitulah, Haruka dengan kuliahnya, Shinme dengan restorannya dan mereka hidup bahagia selamanya.
Hingga kabar itu datang.
Bermula dari sebuah nama yang diucapkan Shinme kepadanya hari ini. Perlahan Haruka mulai bisa mengendalikan emosinya. Ia berusaha untuk acuh.
“Aku sudah melupakannya!” Haruka membohongi kakaknya, atau mungkin lebih tepatnya membohongi dirinya sendiri.
“Dia datang” Shinme mengucapkan dua kata itu dengan nada yang sangat serius. Haruka tersedak.
“Apa? Bagaimana bisa?”
“Dia datang menemuiku di Shibuya. Awalnya aku terkejut, namun Itada berkata ‘tak sulit menemukan pengusaha sukses sepertimu, di dunia yang hanya selebar daun kelor’. Akupun percaya padanya” Shinme menjelaskan.
Shinme bercerita panjang lebar soal pertemuannya dengan Itada. Shinme bilang, Itada berniat menemui Haruka nanti malam di cafe. Hanya tinggal beberapa jam lagi, namun terasa begitu lama bagi Haruka. Waktunya dihabiskan untuk menduga-duga seperti apa wujud Itada saat ini.
Waktu yang ditunggu pun tiba. Haruka menatap keluar jendela itu dan mendapati salju mulai turun lagi. Dingin seakan berusaha menerobos masuk lewat celah mantel yang ia kenakan, namun ia sama sekali tak peduli dengan hal itu. Kini pandangannya teralihkan pada sosok yang datang menghampirinya bersama kakaknya. Ternyata tidak ada yang berubah. Itada masih setampan dan seceria dulu. Hanya saja Itada jauh lebih tinggi dari yang ia kenal.
Awalnya Haruka enggan berbicara pada Itada. Namun Itada dan Shinme terus menggodanya. Mau tidak mau, Haruka luluh juga dan memperlihatkan lubang madu dipipinya.
“Aku benci padamu. Mengapa kau pergi begitu saja tanpa berpamitan denganku?”
“Malam itu aku datang bersama kakakmu dan mendapati kau tertidur di serambi belakang rumahmu. Aku tak ingin membangunkanmu jadi kuputuskan untuk menggendongmu kekamarmu dan berbisik ditelingamu. Seperti ini.”
Itada lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Haruka dan membisikkan sesuatu.
“Aku minta maaf hanya bisa berpamitan seperti ini. Aku yakin suatu saat nanti kita akan  bertemu lagi. Dan aku akan menyampaikan ini secara langsung padamu bahwa aku menyayangimu”
Itada memeluknya dan Haruka menitikkan air mata.

0 komentar:

Posting Komentar