BAB 1 : PERTEMUAN KEMBALI
Hari ini langit terlihat sendu, mungkin
karena sejak beberapa hari terakhir matahari tak datang untuk menemaninya. Ia
mungkin takut panasnya tersaingi oleh dinginnya butiran-butiran lembut yang
turun dari langit. Haruka berjalan diantara butiran-butiran yang terus
berjatuhan itu. Ia mendongakkan kepalanya. “Salju”. Ternyata waktu musim dingin
telah tiba. Ia mengencangkan mantelnya dan bergegas.
Langit boleh bersedih, tapi tidak dengan gadis mungil berlesung pipi ini. Hari ini
kakaknya akan mengunjunginya dan ia sangat senang sekali.
“Kau sudah pulang Haruka?”
Shinme, kakak Haruka telah menunggunya sedari
tadi di apartemen Haruka. Siang tadi Shinme meneleponnya untuk memberitahukan
kedatangannya, namun ternyata Haruka harus pergi ke suatu tempat jadi ia
membiarkan pintu apartemennya tidak terkunci agar kakaknya bisa masuk.
“Aku membuatkanmu teh bunga krisan, minumlah
selagi hangat” seraya berkata demikian, Shinme menyodorkan cangkir berisi teh
yang asapnya masih mengepul. Tak ada teh yang lebih enak dari teh hasil buatan
kakaknya.
Saat ini, Haruka dan Shinme sedang duduk di
dekat jendela besar apartemennya sambil menikmati teh krisan buatan Shinme. Shinme
tinggal di Shibuya dengan istrinya yang cantik. Haruka tidak ikut mereka karena
harus menyelesaikan kuliahnya di Tokyo.
Shinme menyesap tehnya lalu membuka
pembicaraan mereka dengan sangat hati-hati.
“Apakah kau masih ingat seorang pria yang
bernama Itada? Aku sangat berharap kau masih mengingatnya”
Apa? Itada? Apakah ia tak salah dengar? “Aku sangat berharap kau masih mengingatnya”.
Haruka membekap mulutnya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakannya? Kenangan
paling indah dalam hidupnya sekaligus tahun-tahun yang penuh air mata.
Bertahun-tahun sudah Haruka mengubur kenangan
itu dengan susah payah. Tapi, tiba-tiba saja kakaknya datang menyebut nama
Itada dan mengembalikan lagi semua kenangannya.
Sudah
bertahun-tahun yang lalu, tapi Ia masih ingat semuanya dengan jelas. Jelas
sekali, seperti memutar kembali gulungan film tua. Haruka merasa dirinya
terhempas kedalam dunianya yang dulu.
Hawa sejuk pegunungan, rumah kayu yang indah,
kolam di halaman belakang rumah Yuki, serta pondok bambu tempat mereka dulu menghabiskan
masa kecil mereka. Yuki, Itada, Temaru, Shinme, dan Haruka.
Yuki yang beruntung, dia cantik dan lucu,
mempunyai orangtua yang lengkap dan dua orang kakak yang sangat menyayanginya.
Terkadang Haruka merasa iri pada kebahagiaan mereka karena dirinya tak
seberuntung mereka. Haruka tinggal di Kanagawa bersama kakaknya. Ibu Haruka
meninggal dunia karena penyakit jantung saat Haruka menginjak usia 5 tahun.
Empat tahun setelah ibunya meninggal, ayahnya
mulai berjudi dan mabuk-mabukan. Jika ia kalah taruhan atau dapat masalah maka
tak segan-segan ia akan melampiaskan kemarahannya pada anak-anaknya. Ayahnya
sering tak pulang kerumah, dan tak jarang Haruka dan Shinme harus menahan lapar
karena tak ada makanan di rumahnya. Tak lama berselang, ayah Haruka pun
menyusul Ibunya akibat over dosis. Sebagai kakak yang tiga tahun lebih tua dari
Haruka, Shinme merasa bertanggung jawab untuk membiayai sekolah serta mengurus
adik semata wayangnya itu.
Tak jarang Shinme bekerja sebagai pembantu di
rumah-rumah tetangganya atau sebagai kuli panggul di pasar. Karena hanya itu
yang dapat ia lakukan setelah putus sekolah. Haruka sedih melihat kakaknya dan
sangat ingin membantu, namun kakaknya melarangnya. Sebagai gantinya, Haruka
yang mengambil alih seluruh pekerjaan rumah. Bagi Haruka, satu-satunya hal yang
paling membahagiakan di dunia ini adalah memiliki seorang kakak yang sangat
hebat seperti Shinme. Haruka sangat bangga kepadanya.
“Aku sayang kak Shinme” Haruka memeluk
kakaknya.
Bagaimanapun juga, sangatlah berat bagi dua
bocah ini menjalani hidup tanpa belaian kasih sayang orangtua. Saat itu Haruka
sedang mencuci pakaian dan tanpa sengaja mendengar tawa lepas Yuki yang
bersenda gurau bersama keluarganya, diam-diam ia menangis seorang diri tanpa
sepengetahuan Shinme.
“Kau sungguh Tuhan yang tak adil ! Mengapa
Engkau membiarkan hidupku seperti ini? Tak adakah rasa kasihan-Mu pada seorang
bocah yang malang ini?!” Haruka terisak. Tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang
memperhatikannya.
“Mengapa kau menangis? Ibuku selalu bilang
padaku, tak baik menyalahkan Tuhan bila kita sedang dalam kesulitan. Adakah
yang bisa kuperbuat untukmu agar kau tak menangis lagi? Aku benci melihat
seseorang menangis”
Suara renyah itu mengejutkan Haruka. Ia
berbalik perlahan dan mendapati sosok anak lelaki bermantel biru tua berdiri
menatap dirinya. Awalnya ia bingung melihat anak itu duduk di sampingnya dan
mengambil alih pekerjaannya, namun pelan-pelan tangis Haruka mereda dan
digantikan tawa segar akibat lelucon-lelucon yang dilontarkan anak yang
meperkenalkan diri bernama Itada Abinara.
“Namaku Itada, kau pasti Haruka. Aku tahu banyak
tentang dirimu dari cerita-cerita sahabatku, kakakmu”
“Apa saja yang sudah kakakku ceritakan
padamu? Beritahu aku.”
“Dia bilang kau itu anak yang cantik dan
pandai”
“Hanya itu?”
“Dia juga bilang kau anak yang baik, rajin
dan penurut”
“Benarkah?”
“Tentu saja”
“Jangan menggodaku terus, kau membuatku malu”
“Kalau begitu kembali ke pendapatku yang
pertama”
“Baiklah, aku membencimu”
“Bukankah kau yang memintanya?”
Tawa pecah diantara keduanya.
Kini, hari-hari Haruka terasa
lebih berarti. Itada mengenalkan Haruka pada kedua adiknya, Yuki dan Tenji.
Paman dan Bibi Abinara. Serta mengajak Haruka berkeliling rumahnya. Haruka juga
menceritakan perihal kedekatannya dengan keluarga Itada kepada kakaknya dan
melihat respon kakaknya, ia yakin Shinme menyetujui gagasan itu.
“Itada itu anak baik,
aku sangat senang mendengar kau berteman dengannya” Shinme membelai rambut
adiknya.
Saat itu hari ulang
tahun Haruka yang ke 10. Itada lalu mengajak Haruka dan Shinme ke sebuah pondok
bambu di halaman belakang rumahnya. Disana, Yuki dan Tenji telah menunggu
dengan kue lengkap dengan lilinnya.
“Ayo ucapkan permohonanmu lalu tiup lilinnya
Haruka!”
Haruka menutup matanya, mengucapkan
permohonan, lalu meniup lilinnya. Ini pertama kalinya Haruka merayakan hari
ulang tahunnya dan ia senang sekali. Shinme memeluk Haruka dan mengucapkan
selamat ulang tahun padanya, begitu juga dengan Yuki, Tenji dan Itada. Itada
mengeluarkan sebuah kotak kecil dan meminta Haruka untuk membukanya. Sebuah
kalung manik-manik yang indah.
“Izinkan aku memakaikannya padamu tuan purti”
Itada mengambil kalung yang ada didalam kotak dan mengalungkannya di leher
Haruka. Sembari mengalungkan kalung tersebut, Itada berbisik di telinga Haruka.
“Aku ingin kau menyimpannya selamanya”. Ia lalu memeluk Haruka. “Selamat ulang
tahun tuan putriku yang cantik”. Itada yang tampan dan baik hati. Diam-diam
Haruka menyukainya. Tapi, ia tampak hanya menganggap Haruka sebagai...entahlah.
Dulu mereka hanyalah seorang anak kecil.
Tapi, Itada selalu baik padanya. Laki-laki
yang paling baik yang pernah ia kenal. Itada bahkan lebih sering membantu
pekerjaan Haruka ketimbang bermain bersama adik-adiknya. Mungkin hal itulah
yang membuat Yuki dan Temaru menaruh kecemburuan pada Haruka.
“Aku benci padamu, kau punya kakak tapi
mengapa mengambil kakak milik orang lain? Lebih baik kau jangan dekati kakakku
lagi. Gara-gara kau, Kak Itada berubah. Ia bahkan tega memarahiku saat aku
menjelek-jelekkan mu”
Itu adalah kata-kata dari Yuki yang masih
diingat oleh Haruka hingga saat ini. Kata-kata yang membuat persahabatan mereka
menjadi berantakan. Itada tak lagi datang untuk membantunya. Hanya sesekali ia
muncul bersama Shime dan berbincang sesaat. Haruka kembali ke hari-harinya yang
dulu.
Suatu hari Haruka mendengar kabar bahwa
keluaga Abinara akan pindah ke Hokaido. Kabar itu ia dengar dari kakaknya. Ia
sedih, sedih sekali. Ia tak mau keluarga itu pergi membawa kenangan buruk
tentangnya. Akhirnya, Haruka memutuskan
untuk ikut bersama kakaknya mengunjungi keluarga itu di malam keberangkatannya.
“Aku dengar, kalian akan pergi ke Hokaido?”
Saat itu Haruka dan Yuki sedang berada di
ruang tamu sambil menunggu makan malam yang disiapkan Bibi Abinara.
“Ya itu benar, ayahku mendapat sebuah
pekerjaan di Hokaido, jadi kami akan pindah kesana” terang Yuki tanpa memandang
kearah Haruka.
“Kalau begitu aku minta maaf padamu jika
selama disini kau tak merasa nyaman denganku. Tolong sampaikan maafku juga pada
Temaru dan Itada. Semoga kau bahagia disana.” Haruka menghela napas. Ia ingin
menangis, ia tak bisa melepas kepergian Itada, jadi putuskan untuk pulang lebih
awal. Sedangkan kakaknya masih harus menyelesaikan pekerjaannya di rumah Itada.
Haruka mendekam di pojok serambi belakang
rumahnya. Menyembunyikan kepalanya di sela kedua lututnya. Dan menangis. Ia
patah hati mengingat pertemuan pertamanya dengan Itada, hari-hari ceria yang
dijalaninya bersama, harus berakhir seperti ini. “Aku benci melihat seseorang menangis” . Ia berharap Itada datang
dan mengatakan kalimat itu lagi padanya. Tapi, saat ia membuka kedua matanya
yang ia dapat hanya sembirat cahaya matahari pagi dari jendela kamarnya. Itada
sudah pergi. Haruka tak percaya Itada pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan
padanya. Ia benci Itada, bahkan ia marah saat kakaknya menyebut nama itu
dihadapannya.
Beberapa bulan berselang, Haruka mendapatkan
beasiswa di sebuah sekolah menengah di Tokyo atas prestasi belajarnya. Haruka
dan Shinme pun pindah ke Tokyo dan melanjutkan hidup disana. Sedikit demi
sedikit masa lalunya yang kelabu mulai terlupakan. Haruka disibukkan dengan
prestasi-prestasinya. Sedangkan Shinme sibuk mengolah cafe yang menyediakan teh
dengan aneka rasa bunga sebagai menu spesialnya. Beberapa tahun kemudian,
Shinme sudah tampil sebagai pengusaha sukses. Ia lalu menikah dengan putri
seorang pengusaha restoran di Shibuya, ia kemudian diamanatkan untuk
melanjutkan usaha keluarga tersebut dan menetap di Shibuya. Awalnya ia tak mau
karena Haruka tak ikut bersamanya, namun Haruka berjanji jika telah
menyelesaikan kuliahnya ia akan menyusul kakaknya ke Shibuya. Begitulah, Haruka
dengan kuliahnya, Shinme dengan restorannya dan mereka hidup bahagia selamanya.
Hingga kabar itu datang.
Bermula dari sebuah nama yang diucapkan
Shinme kepadanya hari ini. Perlahan Haruka mulai bisa mengendalikan emosinya.
Ia berusaha untuk acuh.
“Aku sudah melupakannya!” Haruka membohongi
kakaknya, atau mungkin lebih tepatnya membohongi dirinya sendiri.
“Dia datang” Shinme mengucapkan dua kata itu
dengan nada yang sangat serius. Haruka tersedak.
“Apa? Bagaimana bisa?”
“Dia datang menemuiku di Shibuya. Awalnya aku
terkejut, namun Itada berkata ‘tak sulit
menemukan pengusaha sukses sepertimu, di dunia yang hanya selebar daun kelor’. Akupun
percaya padanya” Shinme menjelaskan.
Shinme bercerita panjang lebar soal
pertemuannya dengan Itada. Shinme bilang, Itada berniat menemui Haruka nanti
malam di cafe. Hanya tinggal beberapa jam lagi, namun terasa begitu lama bagi
Haruka. Waktunya dihabiskan untuk menduga-duga seperti apa wujud Itada saat
ini.
Waktu yang ditunggu pun tiba. Haruka menatap
keluar jendela itu dan mendapati salju mulai turun lagi. Dingin seakan berusaha
menerobos masuk lewat celah mantel yang ia kenakan, namun ia sama sekali tak
peduli dengan hal itu. Kini pandangannya teralihkan pada sosok yang datang
menghampirinya bersama kakaknya. Ternyata tidak ada yang berubah. Itada masih
setampan dan seceria dulu. Hanya saja Itada jauh lebih tinggi dari yang ia
kenal.
Awalnya Haruka enggan berbicara pada Itada.
Namun Itada dan Shinme terus menggodanya. Mau tidak mau, Haruka luluh juga dan
memperlihatkan lubang madu dipipinya.
“Aku benci padamu. Mengapa kau pergi begitu
saja tanpa berpamitan denganku?”
“Malam itu aku datang bersama kakakmu dan
mendapati kau tertidur di serambi belakang rumahmu. Aku tak ingin
membangunkanmu jadi kuputuskan untuk menggendongmu kekamarmu dan berbisik
ditelingamu. Seperti ini.”
Itada lalu mendekatkan mulutnya ke telinga
Haruka dan membisikkan sesuatu.
“Aku minta maaf hanya bisa berpamitan seperti
ini. Aku yakin suatu saat nanti kita akan
bertemu lagi. Dan aku akan menyampaikan ini secara langsung padamu bahwa
aku menyayangimu”
Itada memeluknya dan Haruka menitikkan air mata.
0 komentar:
Posting Komentar